Assalamu'alaikum?. selamat sore para pembaca setia Galaxy?.. apa kabar Anda hari ini?..semoga ada dalam keadaan baik-baik saja, baiklah pada kesempatan sekarang ini saya akan mencaba barbagi sebuah makalah yang membahas tenang bisnis, mungkin ini sangat cocok untuk anak-anak ekonomi, dan yang berhubungan dengan ekonomi itu, namun tidak menutup kemungkinan untuk anda yang tidak berhubungan dengan ekonomi, yang pasti ini cocok untuk semua kalangan (*Yang Membutuhkan). baiklah sebelum ke materi saya ucapakan teriakasih kepada teman kostan Saya HERIS SUHENDAR, yang telah mengizinakn saya untuk memposting makalahnya di blog ini, da saya sangat berharap semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi Anda semua, selamat menyimak.

 
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.       Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan zaman dan begitu pesatnya sektor perekonomian yang semakin meningkat, dinamis dengan penuh persaingan serta tidak mengenal batas-batas wilayah. Berbagai bisnis yang dijalankan dengan mudahnya untuk dilaksanakan. Oleh karena itu bisnis di zaman sekarang ini diperlukannya hukum untuk menaungi dan melindungi dengan tujuan untuk mewujudkan rasa keadilan sosial dan adanya kepastian hukum, bukan hanya sekedar mencari keuntungan (profit oriented) tetapi ada pertanggungjawaban terhadap dampak yang ditimbulkan dari operasional bisnis secara menyeluruh tersebut.
Untuk  mengantisipasi  hal-hal  yang  tidak  diinginkan,  para  bisnisman  dan orang-orang yang ingin terjun langsung di dunia bisnis hendaknya terlebih dahulu mengetahui dan memahami hukum bisnis secara detail agar bisnis yang ditekuni berjalan dengan baik dan memberikan manfaat bagi dirinya dan menyejahterakan masyarakat pada umumnya.[1]
Di Indonesia seperti kebanyakan negara berkembang yang lain, berusaha semaksimal mungkin untuk meningkatkan kesejahteraan warganya. Untuk itu pengembangan pada sektor ekonomi menjadi tumpuan utama agar taraf hidup rakyat menjadi lebih mapan. Pembangunan ekonomi merupakan pengolahan kekuatan ekonomi  riil  dimana  dapat  dilakukan  melalui  penanaman  modal,  penggunaan teknologi dan kemampuan berorganisasi atau manajemen.[2]
Syahrin Naihasy mengatakan lebih lanjut bahwa sejak perekonomian dunia telah mengalami perubahan yang sangat dahsyat dan kini dunia, termasuk Indonesia, menyaksikan fase ekonomi global yang bergerak cepat dan telah membuka tabir lintas batas antar Negara.[3] Dapat dikatakan bahwa dunia usaha adalah sebagai tumpuan utama yang dipergunakan sebagai pilar dan dilaksanakan dengan berbagai macam cara yang sekiranya dapat memupuk perkembangannya dengan lebih optimal dan berdaya guna.

1.2.       Rumusan Masalah
1.        Apakah Pengertian Waralaba ?
2.        Apakah di dalam Waralaba ada Bentuk Perjanjian ?
3.        Apa Perbedaan Pemberian Waralaba dan Lisensi ?

1.3.       Tujuan Penulisan
Untuk mempermudah tercapainya arah serta sasaran yang diharapkan bagi pembaca, maka penyusun merumuskan beberapa tujuan yang hendak dicapai. Adapun rumusan tujuan-tujuan tersebut adalah untuk mengetahui :
1.        Sejarah Waralaba
2.        Pengertian Waralaba
3.        Waralaba Sebagai Bentuk Perjanjian
4.        Perbedaan Pemberian Waralaba dan Lisensi
BAB II
ANALISIS TEORITIS

2.1.       Sejarah Waralaba
Sejarah franchise dimulai di Amerika Serikat oleh perusahaan mesin jahit singer sekitar tahun 1850-an. Pada saat itu, Singer membangun jaringan distribusi hampir di seluruh daratan Amerika untuk menjual produknya. Di samping menjual mesin jahit, para distributor tersebut juga memberikan pelayanan purna jual dan suku cadang. Jadi para distributor tidak semata menjual mesin jahit, akan tetapi juga memberikan layanan perbaikan dan perawatan kepada konsumen.[4] Walaupun tidak terlampau berhasil, Singer telah menebarkan benih untuk franchising di masa yang akan datang dan dapat diterima secara universal.
Pola ini kemudian diikuti oleh industri oleh industri mobil, industri minyak dengan pompa bensinnya serta industri minuman ringan. Mereka ini adalah para produsen yang tidak mempunyai jalur distribusi untuk produk-produk mereka, sehingga memanfaatkan sistem franchise ini di akhir-akhir abad ke 18 dan diawal abad ke 19.
Sesudah  perang  dunia  ke  2,  usaha  eceran  mengadakan  perubahan  dari orientasi produk ke orientasi pelayanan. Disebabkan kelas menengah mulai sangat mobile dan mengadakan relokasi dalam jumlah besar ke daerah-daerah pinggiran kota, maka banyak rumah makan / restoran atau drive in mengkhususkan dalam ma- kanan siap saji dan makanan yang bisa segera di makan di perjalanan.
Pada awalnya istilah franchise tidak dikenal dalam kepustakaan Hukum Indonesia, hal ini dapat dimaklumi karena memang lembaga franchise ini sejak awal tidak terdapat dalam budaya atau tradisi bisnis masyarakat Indonesia. Namun   karena pengaruh   globalisasi   yang   melanda   di   berbagai   bidang,   maka   franchise   ini kemudian.   masuk   ke   dalam   tatanan   budaya   dan   tatanan   hukum   masyarakat Indonesia.[5]
Waralaba mulai ramai dikenal di Indonesia sekitar tahun 1970-an dengan mulai masuknya franchise luar negeri seperti Kentucky Fried Chicken, Swensen, Shakey  Pisa  dan  kemudian  diikuti  pula  oleh  Burger  King  dan  Seven  Eleven, Walaupun sistem franchise ini sebetulnya sudah ada di Indonesia seperti yang diterapkan    oleh    Bata    dan    yang    hampir    menyerupainya    ialah    SPBU (pompa bensin).
Pada awal tahun 1990 – an International Labour Organization (ILO) pernah menyarankan Pemerintah Indonesia untuk menjalankan sistem franchise guna memperluas lapangan kerja sekaligus merekrut tenaga-tenaga ahli franchise untuk melakukan survei, wawancara, sebelum memberikan rekomendasi. Hasil kerja para ahli franchise tersebut menghasilkan “Franchise Resource Center” dimana tujuan lembaga tersebut adalah mengubah berbagai macam usaha menjadi franchise serta mensosialisasikan sistem franchise ke masyarakat Indonesia.
Istilah   franchise   in selanjutnya   menjadi   istilah   yan akrab   dengan masyarakat, khususnya masyarakat bisnis Indonesia dan menarik perhatian banyak pihak untuk mendalaminya kemudian istilah franchise dicoba di Indonesiakan dengan istilah ‘waralaba’ yang diperkenalkan pertama kali oleh Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Manajemen (LPPM) sebagai padanan istilah franchise. Waralaba berasal  dari kata wara (lebih atau istimewa) dan laba (untung), maka waralaba berarti usaha yang memberikan laba lebih / istimewa.[6]

2.2.       Pengertian Waralaba (Franchise)
Pengertian Franchise berasal dari bahasa Perancis affranchir yang berarti to free yang artinya membebaskan. Dengan istilah franchise di dalamnya terkandung makna,  bahwa  seseorang  memberikan  kebebasan  dari  ikatan  yang  menghalangi kepada  orang  untuk  menggunakan  atau  membuat  atau  menjual  sesuatu.[7] Dalam bidang bisnis franchise berarti kebebasan yang diperoleh seorang wirausaha untuk menjalankan sendiri suatu usaha tertentu di wilayah tertentu.[8]
Franchise ini merupakan suatu metode untuk melakukan bisnis, yaitu suatu metode untuk memasarkan produk atau jasa ke masyarakat. Selanjutnya disebutkan pula bahwa franchise dapat didefinisikan sebagai suatu sistem pemasaran atau distribusi barang dan jasa, di mana sebuah perusahaan induk (franchisor) memberikan kepada individu / perusahaan lain yang berskala kecil dan menengah (franchisee), hak- hak istimewa untuk melaksanakan suatu sistem usaha tertentu dengan cara yang sudah ditentukan, selama waktu tertentu, di suatu tempat tertentu.[9]
Dari segi bisnis dewasa ini, istilah franchise dipahami sebagai suatu bentuk kegiatan pemasaran dan distribusi. Di dalamnya sebuah perusahaan besar membe- rikan hak atau privelege untuk menjalankan bisnis secara tertentu dalam waktu dan tempat tertentu kepada individu atau perusahaan yang relatif lebih kecil. Franchise merupakan salah satu bentuk metode produksi dan distribusi barang atau jasa kepada konsumen dengan suatu standard dan sistem eksploitasi tertentu. Pengertian standar dan eksploitasi tersebut meliputi kesamaan dan penggunaan nama perusahaan, merek, serta sistem produksi, tata cara pengemasan, penyajian dan pengedarannya.[10]
Sementara itu Munir Fuady menyatakan bahwa Franchise atau sering disebut juga dengan istilah waralaba adalah suatu cara melakukan kerjasama di bidang bisnis antara 2 ( dua ) atau lebih perusahaan, di mana 1 ( satu ) pihak akan bertindak sebagai franchisor dan pihak yang lain sebagai franchisee, di mana di dalamnya diatur bahwa pihak - pihak franchisor sebagai pemilik suatu merek dari know - how terkenal, memberikan hak kepada franchisee untuk melakukan kegiatan bisnis dari / atas suatu produk   barang   atau   jasa,   berdasar   dan   sesuai   rencana   komersil   yang   telah dipersiapkan, diuji keberhasilannya dan diperbaharui dari waktu ke waktu, baik atas dasar hubungan yang eksklusif ataupun noneksklusif, dan sebaliknya suatu imbalan tertentu  akan  dibayarkan  kepada  franchisor  sehubungan  dengan  hal  tersebut.[11] Selanjutnya  Munir  Fudy  mengatakan  lagi  bahwa  Franchisee  adalah  suatu  lisensi kontraktual diberikan oleh franchisor kepada franchisee yang :
1.        Mengizinkan atau mengharuskan franchisee selama jangka waktu franchise, untuk melaksanakan bisnis tertentu dengan menggunakan nama khusus yang dimiliki atau berhubungan dengan pihak franchisor.
2.        Memberikan hak kepada franchisor untuk melaksanakan pengawasan berlanjut selama jangka waktu franchise terhadap aktivitas bisnis franchise oleh franchisee.
3.        Mewajibkan pihak franchisor untuk menyediakan bantuan kepada franchisee dalam  hal  melaksanakan  bisnis  franchise  tersebut  semisal  memberikan bantuan pendidikan, perdagangan, manajemen, dan lain-lain.
4.        mewajibkan   pihak   franchisee   untuk   membayar   secara   berkala   kepada franchisor sejumlah uang sebagai imbalan penyediaan barang dan jasa oleh pihak franchisor.
Adapun definisi franchise menurut Asosiasi Franchise International adalah “suatu hubungan berdasarkan kontrak antara franchisor dengan franchisee. Pihak franchisor menawarkan dan berkewajiban memelihara kepentingan terus – menerus pada usaha franchise dalam aspek aspek pengetahuan dan pelatihan. Sebaliknya franchisee memiliki hak untuk beroperasi di bawah merek atau nama dagang yang sama, menurut format dan prosedur yang ditetapkan oleh franchisor dengan modal dan sumber daya franchisee sendiri.
Sedangkan menurut Asosiasi Franchise Indonesia yang dimaksud dengan franchise adalah “suatu sistem pendistribusian barang atau jasa kepada pelanggan akhir, dimana pemilik merek (franchisor) memberikan hak kepada individu atau perusahaan untuk melaksanakan bisnis dengan merek, nama, sistem, prosedur dan cara-cara yang telah ditetapkan sebelumnya dalam jangka waktu tertentu meliputi area tertentu”.
2.2.1. Karakteristik Yuridis/Dasar Franchise
Menurut Munir Fuady, bahwa franchise mempunyai karakteristik yuridis /dasar sebagai berikut :[12]
1.        Unsur Dasar
Ada 3 (tiga) unsur dasar yang harus selalu dipunyai, yaitu :
a.       Pihak yang mempunyai bisnis franchise disebut sebagai franchisor.
b.      pihak  yang  mejalankan  bisnis  franchise  yang  disebut  sebagai franchisee.
c.       Adanya bisnis franchise itu sendiri.
2.      Produk Bisnisnya Unik
3.      Konsep Bisnis Total
Penekanan  pada  bidang  pemasaran  dengan  konsep  P4  yakni  Product, Price, Place serta Promotion.
4.      Franchise Memakai / Menjual Produk
5.      Franchisor Menerima Fee dan Royalty
6.      Adanya pelatihan manajemen dan skill khusus
7.      Pendaftaran Merek Dagang, Paten atau Hak Cipta
8.      Bantuan Pendanaan dari Pihak Franchisor
9.      Pembelian Produk Langsung dari Franchisor
10.  Bantuan Promosi dan Periklanan dari Franchisor
11.  Pelayanan pemilihan Lokasi oleh Franchisor
12.  Daerah Pemasaran yang Ekslusif
13.  Pengendalian / Penyeragaman Mutu
14.  Mengandung Unsur Merek dan Sistem Bisnis
Rumusan tersebut di atas, bahwa waralaba ternyata tidak juga mengandung unsur-unsur sebagaimana yang diberikan pada lisensi, hanya saja dalam pengertian waralaba tersebut dalam Blacks’Law Dictionary, waralaba menekankan pada pemberian hak untuk menjual produk berupa barang atau jasa dengan memanfaatkan merek dagang franchisor (pemberi waralaba) dimana pihak franchise (penerima waralaba) berkewajiban untuk mengikuti metode dan tatacara atau prosedur yang telah ditetapkan oleh pemberi waralaba. Dalam kaitannya dengan pemberian izin dan kewajiban  pemenuhan  standar  dari  pemberi  waralaba,  artinya  akan  memberikan bantuan pemasaran, promosi maupun bantuan teknis lainnya agar penerima waralaba dapat menjalankan usahanya dengan baik.

BAB III
PEMBAHASAN

3.1.       Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Waralaba
Pemerintah sebagai pemegang otoritas mempunyai kekuasaan untuk menerapkan peraturan-peraturan yang menyangkut hubungan bisnis bagi para pihak sekaligus melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, yaitu agar supaya undang – undang yang Pemerintah tersebut dapat dilaksanakan dengan baik tanpa adanya suatu pelanggaran atau penyelewengan. Perhatian Pemerintah yang begitu besar ini bertujuan memberikan perlindungan hokum serta kepastian  hukum  agar  masing-masing  pihak  merasa  aman  dan  nyaman  dalam menjalankan bisnis khususnya yang terlibat dalam bisnis waralaba ini.
Hukum bisnis waralaba idealnya untuk melindungi kepentingan para pihak namun kenyataan di lapangan belum tentu sesuai seperti yang diharapkan. Seperti yang dikemukakan oleh Roscoe Pound yang membagi 3 ( tiga ) golongan yang harus dilindungi   oleh   hukum,   yaitu,   kepentingan   umum,   kepentingan   sosial   dan kepentingan perseorangan.[13] Akan  tetapi  posisi  pemberi  waralaba  yang  secara ekonomi lebih kuat akan memberikan pengaruhnya pula  bagi beroperasinya hukum di masyarakat.
Hukum mempunyai kedudukan yang kuat, karena konsepsi tersebut memberikan kesempatan yang luas kepada negara atau Pemerintah untuk mengambil tindakan tindakan yang diperlukan untuk membawa masyarakat kepada tujuan yang di  kehendaki  dan  menuangkannya  melaui  peraturan  yang  dibuatnya.  Dengan demikian hukum bekerja dengan cara memberikan petunjuk tingkah laku kepada manusia dalam memenuhi kebutuhan.
Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa ketaatan perbuatan terhadap ketentuan-ketentuan organisasi dipengaruhi oleh kepribadian, asal- usul sosial, kepentingan ekonominya, maupun kepentingan politik serta pandangan hidupnya maka semakin besar pula kepentingannya dalam hukum.[14] Di sisi lain diungkapkan juga bahwa masyarakat  senantiasa  mengalami  perubahan  demikian  pula  dengan  hukumnya, bahwa hukum itu berkembang dengan mengikuti tahap-tahap perkembangan masyarakat. Sedangkan kunci utama dalam pembuatan hukum yang mengarah kepada perubahan sosial terletak pada pelaksanaan ataupun implementasi implementasi hokum tersebut.
3.1.1.      Peraturan Pemerintah RI No 16 tahun 1997 tanggal 18 Juni 1997 yang kini telah dicabut dengan dikeluarkannya peraturan terbaru yaitu Peraturan Pemerintah RI No. 42 Tahun 2007 tanggal 23 Juli 2007.
Waralaba menurut pasal 1 Peraturan Pemerintah RI No 16 tahun 1997  adalah “perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan dan atau penjualan barang dan atau jasa”.
Sedangkan berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 42 Tahun 2007   pasal 1 ayat (1) menyebutkan pengertian waralaba adalah: “hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan / atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan / atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba”
Dalam franchise ada dua pihak yang terlibat yaitu franchisor atau pemberi waralaba dan franchisee atau penerima waralaba di mana masing-masing pihak terikat dalam suatu perjanjian yaitu perjanjian waralaba. Peraturan Pemerintah RI No. 42 Tahun 2007 dalam pasal 1 ayat ( 2 ) yang dimaksud franchisor atau pemberi waralaba adalah orang perseorangan atau badan usaha yang memberikan hak untuk memanfaatkan dan / atau menggunakan waralaba yang dimilikinya kepada penerima waralaba dan dalam pasal 1   ayat ( 3 ) yang dimaksud franchisee atau penerima waralaba adalah orang perseorangan atau badan usaha yang diberikan hak oleh pemberi waralaba untuk memanfaatkan dan / atau menggunakan waralaba yang dimiliki pemberi waralaba.
Sementara itu dalam pasal 3 ada enam syarat yang harus dimiliki suatu usaha apabila ingin diwaralabakan yaitu :
a.         Memiliki ciri khas usaha
b.        Terbukti sudah memberikan keuntungan
c.         Memiliki  standar  atas  pelayanan  dan  barang  dan / atau  jasa  yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis
d.        Mudah diajarkan dan diaplikasikan
e.         Adanya dukungan yang berkesinambungan
f.          Hak kekayaan Intelektual yang telah terdaftar
Dalam sistem franchise ada pos-pos biaya yang normal dikeluarkan sebagai berikut :[15]
1.        Royalty
Pembayaran  oleh  pihak  franchisee  kepada  pihak  franchisor  sebagai imbalan dari pemakaian hak franchise oleh franchisee.Walaupun tidak tertutup kemungkinan pembayaran royalty pada suatu waktu dalam jumlah tertentu yang sebelumnya tidak diketahuinya.
2.        Franchise fee
Yang dimaksud Franchise fee adalah biaya pembelian hak waralaba yang dikeluarkan oleh pembeli waralaba (franchisee) setelah dinyatakan memenuhi persyaratan sebagai franchisee sesuai kriteria franchisor. Umumnya franchise fee dibayarkan hanya satu kali saja dan akan dikembalikan  oleh  franchisor  kepada  franchisee  dalam bentuk  fasilitas pelatihan awal, dan dukungan set up awal dari outlet pertama yang akan dibuka oleh franchisee.   Franchisee dalam hal ini menerima hak untuk berdagang di bawah nama dan sistem yang sama, pelatihan, serta berbagai keuntungan lainnya. Sama halnya dengan memulai bisnis secara mandiri, franchisee bertanggung jawab untuk semua biaya yang muncul guna memulai usaha ini tetapi kemungkinan mengeluarkan uang lebih rendah karena kekuatan jaringan yang dimiliki oleh franchisor.
3.        Direct Expenses
Biaya langsung yang harus dikeluarkan sehubungan dengan pengembangan bisnis franchise. Misalnya, terhadap pemondokan pihak yang akan menjadi pelatih dan feenya, biaya pelatihan dan biaya pada saat pembukaan.
4.        Biaya sewa
Ada beberapa franchisor yang menyediakan tempat   bisnis, maka dalam hal  demikian  pihak  franchisee  harus  membayar  harga  sewa  tempat tersebut kepada franchisor agar tidak timbul disputes di kemudian hari.
5.        Marketing and advertising fees
Franchisee ikut menanggung biaya dengan menghitungnya, baik secara persentase dari omzet penjualan ataupun jika ada marketing atau iklan tertentu.
6.        Assignment fees
Biaya yang harus dibayar oleh pihak franchisee kepada pihak franchisor jika pihak franchisee mengalihkan bisnisnya kepada pihak lain, termasuk bisnis yang merupakan objeknya franchise. Oleh pihak franchisor biaya itu dimanfaatkan untuk kepentingan persiapan pembuatan perjanjian penyerahan, pelatihan pemegang franchise yang baru dan sebagainya.

3.2.       Waralaba sebagai Bentuk Perjanjian
Dalam franchise, dasar hukum dari penyelenggaraannya adalah kontrak antara kedua belah pihak. Kontrak franchise biasanya menyatakan bahwa franchise adalah kontraktor  independent  dan  bukannya  agen  atau  pegawai  franchisor.  Namun demikian perusahaan induk dapat membatalkan franchise tersebut, bila franchisee melanggar persyaratan-persyaratan dalam persetujuan itu.[16]
3.2.1.      Istilah dan Pengertian Kontrak
Istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris, yaitu contract. Hukum kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu contract of law, sedangkan dalam bahasa  Belanda  disebut  dengan  istilah  Overeenscom-strecht.  Dalam  tampilannya yang  klasik,  untuk  istilah  kontrak  ini  sering  disebut  dengan  istilah  “perjanjian” sebagai terjemahan dari “agreement” dalam bahasa Inggris. Namun demikian istilah “kontrak” (sebagai terjemahan dari istilah Inggris “contract”) adalah paling modern, paling luas dan paling lazim digunakan, termasuk pemakaiannnya dalam dunia bisnis.
Yang dimaksud dengan kontrak adalah suatu kesepakatan yang diperjanjikan (promissory agreement)  di antara 2 (dua)  atau  lebih  pihak  yang  dapat menimbulkan, memodifikasi, atau menghilangkan hubungan hokum.[17] Pengertian perjanjian atau kontrak diatur di pasal 1313 KUH Perdata pasal 1313 KUH Perdata berbunyi  “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.[18]
3.2.2.      Syarat-syarat Sahnya Kontrak
Selanjutnya untuk sahnya suatu perjanjian menurut pasal 1320 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata diperlukan empat syarat yaitu :[19]
a.         Kesepakatan (toesteming / izin) kedua belah pihak
b.        Kecakapan Bertindak
c.         Mengenai suatu hal tertentu
d.        Suatu sebab yang halal ( Geoorloofde oorzaak )
Ada beberapa syarat untuk kontrak yang berlaku umum tetapi di atur di luar pasal 1320 KUH Perdata, yaitu sebagai berikut :
a.         Kontrak harus dilakukan dengan itikad baik
b.        Kontrak tidak boleh bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku
c.         Kontrak harus dilakukan berdasarkan asas kepatutan
d.        Kontrak tidak boleh melanggar kepentingan umum
3.2.3.      Asas-asas/Dasar-dasar Hukum Kontrak
Yang dimaksud dengan dasar-dasar hukum kontrak adalah prinsip yang harus di pegang bagi para pihak yang mengikatkan diri ke dalam hubungan hukum kontrak. Menurut Hukum Perdata, sebagai dasar hukum utama dalam berkontrak, dikenal 5 (lima) asas penting sebagai berikut :[20]
a.         Asas Kebebasan Berkontrak
Setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur dalam undang-undang.
b.         Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat ( 1 ) KUH Perdata. Dalam pasal itu ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak.
c.         Asas Pacta Sunt Servanda
Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah   undang-undang.
d.        Asas Itikad Baik
Asas itikad merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak   berdasarkan   kepercayaan   atau   keyakinan   yang   teguh   atau kemauan baik dari para pihak.
e.         Asas Kepribadian
Asas  kepribadian  merupakan  asas  yang  menentukan  bahwa  seseorang yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja.
3.2.4.      Prestasi dan Wanprestasi dalam Kontrak
Istilah prestasi dalam hukum kontrak adalah pelaksanaan dari isi kontrak yang telah dibuat para pihak dengan kesepakatan bersama. Suatu kontrak yang bermakna prestasi ada tiga yaitu :[21]
1.         Menyerahkan suatu barang;
2.         Melakukan suatu perbuatan;
3.         Tidak melakukan suatu perbuatan.
Sedangkan wanprestasi menurut Subekti adalah apabila si berutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikannya, alpa atau lalai atau ingkar janji atau juga melanggar perjanjian, bila melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya maka dikatakan melakukan wanprestasi.[22]
3.2.5.      Pengganti Kerugian
Ganti rugi adalah sanksi yang dapat dibebankan kepada debitur yang tidak memenuhi prestasi dalam suatu kontrak untuk memberikan penggantian biaya, kerugian dan bunga. Menurut Tukirin Sy. Sastroresono pengertian masing-masing berikut :[23]
1.        Biaya adalah segala pengeluaran yang telah dikeluarkan secara   nyata oleh salah satu pihak;
2.        Rugi adalah hilangnya suatu keuntungan yang sudah dihitung;
3.        Bunga adalah timbul dalam perikatan yang memberikan sejumlah uang dan pelaksanaannya tidak tepat pada waktunya.
3.2.6.      Bentuk-bentuk Kontrak
Bentuk-bentuk kontrak dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tertulis dan lisan. Perjanjian tertulis adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan. Sedangkan perjanjian lisan suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam wujud lisan ( cukup kesepakatan para pihak ).
Ada tiga bentuk perjanjian tertulis, sebagaimana dikemukakan berikut ini :[24]
1.         Perjanjian di bawah tangan yang ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan saja. Perjanjian itu hanya mengikat para pihak dalam perjanjian, tetapi tidak mempunyai kekuatan mengikat pihak ketiga;
2.         Perjanjian dengan saksi notaris untuk melegalisir tanda tangan para pihak.
Fungsi kesaksian notaris atas suatu dokumen semata-mata hanya untuk melegalisir kebenaran tanda tangan para pihak. Akan tetapi, kesaksian tersebut tidaklah mempengaruhi kekuatan hukum dari isi perjanjian;
3.         Perjanjian yang dibuat di hadapan dan oleh notaris dalam bentuk akta notariel. Akta notariel adalah akta yang dibuat di hadapan dan di muka pejabat yang berwenang untuk itu.
3.2.7.      Berakhirnya Kontrak
Berakhirnya kontrak merupakan selesai atau hapusnya sebuah kontrak yang dibuat antara dua pihak tentang sesuatu hal. Sesuatu hal bisa berarti segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh kedua pihak.
Dalam praktek, dikenal pula cara berakhirnya kontrak yaitu :[25]
1.        Jangka waktu berakhir;
2.        Dilaksanakan obyek perjanjian;
3.        Kesepakatan ke dua belah pihak;
4.        Pemutusan kontrak secara sepihak oleh salah satu pihak;
5.        Adanya putusan pengadilan.
3.2.8.      Penyelesaian Sengketa dalam Kontrak
Menurut jalur hukum ada tiga ( 3 ) cara yang dapat ditempuh untuk menyelesaikannya, yaitu :
1.        Jalur Pengadilan;
2.        Jalur Arbitrase (perwasitan);
3.        Jalur Negosiasi (perundingan).

3.3.       Perbedaan  Pemberian Waralaba Dan Lisensi
Pengertian franchise (waralaba) selalu diartikan berbeda dengan lisensi. Padahal, intinya hampir sama. Dalam praktik lisensi (licensing) diartikan lebih sempit, yakni perusahaan atau seseorang (licencor) yang memberi hak kepada pihak tertentu ( licensee ) untuk memakai merek/hak cipta/paten (Hak milik kekayaan intelektual) untuk memproduksi atau menyalurkan produk/jasa pihak licencor. Imbalannya licensee membayar fee.
Lisencor tidak mencampuri urusan manajemen dan pemasaran pihak licensee. Misalnya, perusahaan Mattel Inc. yang memiliki hak karakter  Barbie  (boneka  anak-anak)  di  AS  memberikan  hak  lisensi  kepada perusahaan mainan di Indonesia. Lisensi merupakan ijin yang diberikan kepada pihak lain untuk memproduksi dan memasarkan produk atau jasa tertentu. Pihak pemberi lisensi (licensor) hanya berkewajiban mengawasi mutu produk atau jasa yang dijual oleh penerima lisensi (licensee).[26]
Perbedaan   antara   kedua   sistem   ini   terletak   pada   tanggung   jawab Masing-masing pihak , dimana pada sistem franchise kedua belah pihak terikat dalam sebuah kontrak kemitraan yang diikuti dengan kewajiban dan tanggung jawab masing -masing pihak. Dalam hal pemberian lisensi, pihak pemberi lisensi tidak mempunyai kewajiban  dan  tanggung  jawab  atas  bisnis  yang  dijalankan  oleh  pihak  penerima lisensi.   Pemberi   lisensi   hanya   berkepentingan   pada   perhitungan   royalti   atau pembagian keuntungan dari volume atau omzet penjualan setiap waktu. Kemudian pemberi lisensi tidak mempunyai tanggung jawab untuk melakukan bimbingan atau pelatihan kepada penerima lisensi.

BAB IV
PENUTUP

4.1.       Kesimpulan
Waralaba (Franchise) merupakan suatu bentuk bisnis kerjasama yang dilakukan oleh dua belah pihak, dimana pihak pertama (franchisor) memberikan hak kepada pihak kedua (franchisee) untuk menjual produk atau jasa dengan memanfaatkan merk dagang yang dimiliki oleh pihak pertama (franchisor) sesuai dengan prosedur atau system yang diberikan.
Waralaba merupakan salah satu bentuk perikatan/atau perjanjian dimana kedua belah pihak harus memenuhi hak dan kewajibannya masing-masing. Perjanjian  waralaba  adalah  perjanjian yang tidak bertentangan dengan undang-undang, agama, ketertiban umum, dan kesusilaan. Artinya perjanjian itu menjadi sebuah aturan bagi mereka yang  membuatnya,  dan  mengikat  kedua  belah  pihak.  Perjanjian  bisnis waralaba ini merupakan perjanjian baku timbal balik dimana masing-masing pihak berkewajiban melakukan prestasi sehingga akan saling menguntungkan.
Kemudian banyak orang yang mengatakan bahwa waralaba itu sama dengan lisensi, padahal pada kenyataannya kedua istilah tersebut berbeda baik dari segi pengertian maupun dari segi pengaplikasiannya. Lisensi merupakan pemberian hak merk/hak cipta kepada pihak tertentu dan tidak mempunyai tanggung jawab untuk melakukan bimbingan ataupun pelatihan kepada penerima lisensi. Sedangkan di dalam bisnis waralaba, pihak franchisor mempunyai kewajiban untuk memberikan pelatihan dan bimbingan kepada pihak franchisee.
DAFTAR PUSTAKA

Fuady, Munir. 2005. Pengantar Hukum Bisnis. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
HS, Salim. 2003. Hukum Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika
Khairandy, Ridwan. 2000. Perjanjian Franchise Sebagai Sarana Alih Teknologi. Jakarta: Pusat Studi Hukum UII Yogyakarta bekerjasama dengan yayasan Klinik Haki
Naihasy, Syahrin. 2005. Hukum Bisnis (Bisnis Law). Yogyakarta: Mida Pustaka
Rahardjo, Satjipto. 1980. Hukum dan Masyarakat. Bandung: Angkasa
Rahardjo, Satjipto. 1982. Ilmu Hukum. Bandung: Alumni
Sastroresono, Tukirin Sy. 1998. Hukum Dagang Dan Hukum Perdata. Jakarta: Universitas Terbuka
Setiawan, Deden. 2007. Franchise Guide Series Ritel. Dian Rakyat
Simatupang, Richard Burton. 2003. Aspek Hukum dalam Bisnis. Jakarta: Rineka Cipta
Subekti. 2002. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT. Intermasa
Subekti. 2004. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita


[1] Syahrin Naihasy, Hukum Bisnis (Business Law), Mida Pustaka, Yogyakarta, 2005, hlm. 8
[2] Ridwan Khairandy, Perjanjian Franchise Sebagai Sarana Alih Teknologi, Pusat Studi Hukum UII Yogyakarta bekerjasama dengan yayasan Klinik Haki Jakarta, 2000, hlm. 132
[3] Syahrin Naihasy, op. cit, hlm. 23 -24
[4] Deden Setiawan, Franchise Guide Series Ritel, Dian Rakyat, 2007, hlm. 13
[5] Tengku Keizerina Devi Azwar, Perlindungan Hukum Dalam Franchise, 2005, hlm. 1 - 2
[6] Tengku Keizerina Devi Azwar, op. cit, hlm. 2
[7] Ridwan Khairandy, op. cit, hlm. 132
[8] Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hlm. 56
[9]Ibid, hlm. 57
[10] Ridwan Khairandy, op. cit. hlm. 134
[11] Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 339
[12] Munir Fuady, op. cit. hlm. 341 - 345
[13] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni  Bandung 1982, hal, 266
[14] Satjipto Rahardjo, Hukum Dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1980, hlm. 72
[15] Munir fuady, op. cit. hlm. 346 - 347
[16] Richard Burton Simatupang, op. cit, hlm. 60
[17] Munir Fuady, op. cit. hlm. 9
[18] Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 338
[19] Salim HS, Hukum Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hlm. 33
[20] Ibid, hlm. 9-12
[21] Syahrin Naihasy, op. cit. hlm. 46
[22] Subekti, Hukum Perjanjian,  PT Intermasa, Jakarta, 2002, hlm. 17
[23] Tukirin Sy. Sastroresono, Hukum Dagang Dan Hukum Perdata, Universitas Terbuka, Jakarta, 1998, hlm. 526
[24] Salim HS, op. cit. hlm. 43
[25] Salim HS, op. cit. hlm. 163
[26] Deden Setiawan, op. cit. hlm. 8

Sumber Referensi : Tugas Kuliah Heris Suhendar (Teman Kost)