TUGAS MAKALAH
SEJARAH PERADABAN ISLAM
“Kemunduran Dinasti Bani Abbas”
Tugas ini diajukan untuk memenuhi syarat tugas perkuliahan
Sejarah Peradaban Islam
Disusun Oleh :
Kelompok : 4 (Empat)
Nama Anggota :
Abdul Aziz (1210705001)
Ai Chandra (1210705014)
Dewi Suci (1210705038)
Ridwan Agustian Nur (208700916)
Riki Ramli Putra (208700919)
Kelas : IF – A
Dosen Mata Kuliah : Asep Supianudin, M.Ag.
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA
UIN SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2011
“Kemunduran Dinasti Bani Abbas (850 – 1194 M)”
- 1. Perpecahan internal
Kemunduran dinasti Bani Abbas ditandai dengan adanya pertikaian internal Dinasti Bani Abbas. Sebelum meninggal, Harun al-Rasyid telah menyiapkan dua anaknya yang diangkat menjadi putra mahkota untuk menjadi khalifah: al-Amin dan al-Ma’mun. Al-Amin diberi hadiah berupa wilayah bagian Barat. Sedangkan al-Ma’mun diberi hadiah berupa wilayah bagian Timur. Setelah Harun al-Rasyid wafat (809 M), al-Amin sebagai putra mahkota tertua tidak bersedia membagi wilayahnya dengan al-Ma’mun. Oleh karena itu, pertempuran dua bersaudara terjadi yang akhirnya dimenangkan oleh al-Ma’mun. Setelah perang usai, al-Ma’mun berusaha menyatukan kembali wilayah Dinasti Bani Abbas. Untuk keperluan itu, ia didukung oleh Tahir sebagai panglima militer, dan saudaranya sendiri, yaitu al-Mu’tashim.
Sebagai imbalan jasa, Tahir disamping berkedudukan sebagai panglima tertinggi tentara Bani Abbas diangkat oleh al-Ma’mun sebagai gubernur Khurashan (820 – 822 M) dengan janji bahwa jabatan itu dapat diwariskan oleh anak-anaknya. Akhirnya, ketergantungan khalifah pada Tahir sangat tinggi yang membuat khalifah tidak dapat mengendalikan tentara itu secara langsung. Al-Amin digantikan oleh al-Mutashim (833 – 842 M). Pengganti khalifah berikutnya adalah al-Watsiq (842 – 847 M) dan al-Mutawakkil (847 – 861 M).
- 2. Mu’tazilah dan Mihnat
Dalam sejarah tercatat bahwa al-Ma’mun adalah khalifah yang menganut faham Mu’tazilah dan menjadikannya sebagai madzhab resmi Dinasti Bani Abbas (tahun 827 M).
Harun Nasution menjelaskan bahwa faham Mu’tazilah yang dijadikan alat oleh al-Ma’mun untuk menguji para pemuka agama dan hakim adalah ajaran tentang kemakhlukan Alquran. Dalam pandangan Mu’tazilah, Alquran tidak qadim, karena sebagian (ayat) Alquran diturunkan lebih dahulu dari yang lainnya, sedangkan sesuatu yang qadim tidak mungkin didahului oleh yang lain. Disamping itu, Mu’tazilah berargumentasi dengan QS. Al-Hijr (15) : 9. Dalam ayat tersebut dikatakan bahwa Alquran diturunkan dan dipelihara oleh Allah SWT. Menurut Mu’tazilah, setiap yang diturunkan adalah baru dan kalau Al-quran itu qadim, maka ia tidak perlu dijaga dan dipelihara. Bagi Mu’tazilah, pandangan yang menyatakan bahwa Al-quran itu qadim berarti menduakan yang qadim (Tuhan) dan menduakan Tuhan berarti syirik (musyrik). Dalam pandangan al-Ma’mun, orang-orang musyrik tidak boleh menjadi pejabat pemerintahan dan pemuka agama.
Pandangan Mu’tazilah tentang kemakhlukan Alquran mendapat tanggapan dari Imam al-Syafi’i. dalam kitab al-Fiqh al-Akbar, al-Syafi’I berkata:
“Ulama yang berpendapat bahwa Alquran itu makhluk adalah kafir”.
Mu’tazilah dan Imam Syafi’I sama-sama telah melakukan pelanggaran, yaitu Mu’tazilah berpendapat bahwa orang yang mengatakan bahwa Alquran itu bukan makhluk adalah musyrik. Sedangkan Imam al-Syafi’I berpendapat bahwa aliran yang berpendapat bahwa Alquran itu makhluk adalah kafir.
Al-Ma’mun memerintahkan kepada para gubernurnya untuk melakukan ujian (mihnat) terhadap para hakim dan pemuka agama (ulama)). Gubernur Irak (Ishaq Ibn Ibrahim) melakukan pengujian terhadap imam yang terkenal, yaitu Ahmad Ibn Hanbal. Ahmad Ibn Hanbal tetap bersikukuh bahwa Alquran adalah qadim, oleh karena itu, ia dikirim kepada al-Ma’mun untuk diberi sanksi. Akan tetapi, sebelum Ahmad Ibn Hanbal menghadap, al-Ma’mun wafat. Meski demikian, Ahmad Ibn Hanbal tidak langsung dibebaskan, ujian keyakinan dilanjutkan oleh al-Mu’tashim (833 – 842 M). Karena mempertahankan pendirian, Ahmad Ibn Hanbal didera dan dipenjara pada zaman al-Mu’tashim. Akan tetapi, Ahmad Ibn Hanbal tidak dihukum mati oleh al-Mu’tashim dan al-Watsiq (842 – 847 M). Sampai akhirnya al-Mutawakkil membatalkan Mu’tazilah sebagai madzhab Negara pada tahun 848 M, serta Ahmad Ibn Hanbal dibebaskan dari penjara.
- 3. Khilafah dan Ahmad Ibn Hanbal
Khalifah al-Ma’mun yang mengangkat Tahir sebagai gubernur Khurasan ternyata melahirkan masalah pada masa kepemimpinan sesudahnya. Karena Tahir kemudian berhasil mendirikan Dinasti (kecil) Tahiriyah yang berkuasa di Khurasan dan tidak tunduk lagi kepada Dinasti Bani Abbas. Untuk mengimbangi kekuatan Tahiriyah, al-Ma’mun dan al-Mu’tashim membentuk dua pasukan: pertama, Syakiriyah (pasukan yang dikendalikan oleh pemimpin lokal yang berasal dari Transoxiana, Armenia, dan Afrika Utara). Kedua, Ghilmaniyah (budak belian yang berkebangsaan Turki yang dilatih dan digaji dan ditempatkan di komplek pemukiman tersendiri yang dilengkapi dengan pasar dan masjid). Akan tetapi, mereka (Ghilmaniyah) lebih setia kepada komandan dari pada kepada khalifah. Pasukan yang berasal dari budak Turki bentrok dengan tentara khalifah dari Baghdad dan akhirnya tentara dari budak Turki ditempatkan di Samara. Akan tetapi, penempatan tentara yang berasal dari Turki di Samara membuat khalifah semakin tidak berdaya untuk mengontrolnya.
Al-Mutawakkil naik tahta pada tahun 847 M/ 232 H. Beliau sangat anti terhadap Syi’ah (Alawiyin). Diantara tindakannya adalah menghapuskan Mu’tazilah sebagai madzhab resmi Negara (848 M) dan ia menginstruksikan kepada bawahannya untuk menghancurkan akam Husein Ibn Ali di Karbala (850 M). Keberpihakan khalifah tertuju pada ulama seperti Ahmad Ibn Hanbal (164 – 241 H). Karya besar Ahmad Ibn Hanbal adalah kitab al-Musnad dalam bidang hadits yang masih dapat dibaca hingga saat ini.
Studi hadits pada zaman ini merupakan lanjutan dari studi yang dilakukan oleh ulama pada zaman Umayah. Sebelum Ahmad Ibn Hanbal menyusun al-musnad, telah ada dua buah kitab hadits: (1) al-Maghazi karya al-Waqidi (w. 207 H/ 822 M), dan (2) al-Thabaqat al-Kabir karya Ibn Sa’id (w. 230 H/ 844 M).
Ahmad Ibn Hanbal memiliki beberapa murid yang mempelajari dan menekuni hadits, diantara mereka yang berbakat adalah Imam Bukhari (w.256 H/ 869 – 870 M). Beliau memiliki kemampuan yang luar biasa dalam membedakan hadits melalui klarifikasi (verifikasi) setelah mengumpulkan hadits dari berbagai ulama dan berbagai daerah selama 16 tahun. Karyanya yang terbesar adalah al-Jami al-Shahih (sekarang kitab ini lebih dikenal oleh public dengan nama Shahih al-Bukhari.
Ulama bidang hadits yang sezaman dan saling berkomunikasi dengan Imam Bukhari adalah Imam Muslim (w. 261 H/ 874 M) dari Nisapur. Imam Muslim berhasil menyusun kitab hadits dengan judul Shahih Muslim. Setelah dua kitab hadits shahih ini berhasil disusun, muncul kitab-kitab Sunan yang disusun oleh sejumlah ulama. Kitab-kitab tersebut adalah Sunan karya Abu Dawud Sijistani (w. 276 H/ 999 M), Turmudzi (w. 279 H/ 892 M), Nasa’I (w. 303 H/ 915 M), dan Ibn Majah (w. 283 H/ 896 M). Oleh karena itu, pada waktu itu telah tersusun kitab hadits yang dikenal dengan al-Kutub al-Sittat (The Six Colonical Book). Untuk lebih mudahnya dapat dilihat tabel berikut:
Kitab-kitab Hadits Zaman Abasiah :
No
Kitab
Penyusun
1. Al-Maghazi
Al-Waqidi (w. 207 H/ 822 M)
2. Al-Thabaqat al-Kabir
Ibn Sa’id (w. 230 H/ 844 M)
3. Al-Musnad
Ahmad Ibn Hanbal (w. 241 H/ 855 M)
4. Al-Jami al-Shahih
Al-Bukhari (w. 261 H/ 874 M)
5. Sunan Abu Dawud
Abu Dawud (w. 276 H/ 999 M)
6. Sunan al-Turmudzi
Al-Turmudzi (w. 279 H/ 892 M)
7. Sunan Ibn Majah
Ibn Majah (w. 283 H/ 896 M)
8. Sunan al-Nasa’i
Al-Nasa’I (w. 303 H/ 915 M)
4. Akidah Aliran Ahl al-Sunah
Abu al-Hasan ‘Ali Ibn Isma’il al-Asy’ari lahir di Bashrah (873 M) dan wafat di Baghdad (935 M). Beliau adalah murid al-Juba’I (Mu’tazilah) dan menganut faham Mu’tazilah sekitar 40 tahun. Perdebatan antara al-Juba’I dengan al-Asy’ari membuat murid mengubah sikap, yaitu menyatakan diri keluar dari Mu’tazilah. Ada durasi sekitar 25 tahun dari penghentian Mu’tazilah sebagai madzhab negara oleh al-Mutawakkil dengan kelahiran Imam al-Asy’ari dan ada durasi 65 tahun antara pemberhentian Mu’tazilah sebagai madzhab resmi negara dengan pendirian Ahl al-Sunnah oleh Imam al-Asy’ari.
Imam al-Asy’ari menuliskan berbagai gagasannya dalam bidang ilmu kalam dalam tiga kitab: Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin, kitab al-Luma fi al-Radd ‘ala Ahl al-Ziyagh wa al-Bida, dan al-Ibanat ‘an Ushul al-Diyanat.
Salah satu pengikut al-Asy’ari adalah Muhammad Ibn al-Thayyib Ibn Muhammad Abu Bakar al-Baqilani (w. 1013 M). ia belajar kepada dua murid imam al-Asy’ari: Ibn Mujahid dan Abu al-Hasan al-Bahili. Pengikut lainnya adalah ‘Abd al-Malik al-Juwaini (419 – 478 H), guru besar di madrasah Nizhamiyah, yang hidup pada fase dinasti Bani Saljuk berkuasa di Baghdad.
Pemerintahan Dinasti Bani Abbas bertahan cukup lama karena bekerjasama dengan pihak lain terutama Persia dan Turki. Penghargaan kepada para petinggi militer, biasanya karena berhasil menumpas pemberontakan maupun karena kekerabatan dilakukan dengan berbagai cara, antara lain pemimpin militer dijadikan amir pada wilayah tertentu dan juga memiliki militer yang otonom. Hadiah ini bukan hanya dipegang oleh penerimanya secara langsung, tetapi dilanjutkan oleh anak-cucunya. Pada gilirannya, pengaruh amir di daerah menguat pada saat yang sama pengaruh khalifah Baghdad menurun dan khalifah dikendalikan oleh para perwira militer, merekalah yang mengangkat, memecat, dan memberhentikan khalifah. Khalifah hanya berkuasa secara simbolik, sedangkan yang berkuasa secara de facto adalah para perwira militer.
Dari segi ketundukan kepada khalifah, dinasti-dinasti kecil dapat dibedakan menjadi dua: dinasti yang mengakui khilafah Abasiah dan dinasti yang tidak mengakui khilafah Abasiah. Sedangkan dari segi letak geografis, dinasti-dinasti kecil dapat dibedakan menjadi dua: dinasti-dinasti kecil di timur Baghdad: Thahiri, Safari, dan Samani, dan dinasti-dinasti kecil di barat Baghdad: Idrisi, Aglabi, Thulun, Hamdani, dan Ikhsidi. Akan tetapi, terdapat dua dinasti kecil yang secara langsung menguasai Baghdad: Buwaihi dan Saljuk. Ini adalah salah satu ugeran sejarah yang dapat memudahkan kita dalam menelusuri perkembangan peradaban Islam.
Daftar Pustaka
1. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997)
2. A. Hasymy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979